Syekh
abdul qodir al-jailani
Syekh Abdul Qadir al-Jaylani
merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia.
Peringatan
Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap tahun oleh umat Islam
Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah
ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran
spiritualnya. Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi
(manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat
dengan sebutan manaqiban.
Nama
lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jaylani.
Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Di
tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan
dan Kilan.
NASAB
Sayyid
Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada bulan Ramadhan
470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama Shahih, seorang yang taqwa
keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu pertama Rasulullah saw, putra sulung
Imam Ali ra dan Fatimah r.a., puteri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah puteri
seorang wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein, r.a.,
putera kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah
Hasaniyin sekaligus Huseiniyin.
MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman mistik’. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman mistik’. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.
Dalam
terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang ruhaniah dan
keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi ummat manusia
setelah para nabi. Seorang ulama’ besar di masa kini, telah menggolongkannya ke
dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur’an bagi orang semacam itu. Ulama
ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi pada perjalanan
pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan
bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang sudah menjanda,
membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam
mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini adalah warisan
dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala
hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan agar jangan berdusta dalam
segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu
kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah segerombolan perampok.
Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak memperhatikannya, karena ia
tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang perampok
menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan janjinya kepada
sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: “Ya, aku punya delapan puluh
keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu saja para perampok
terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka
membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan jawabannya pun sama.
Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan puluh keping emas
sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan
segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada saat berangkat, dan
ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu
agama.
Mendengar
hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di kali Abdul Qadir,
dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Diriwayatkan, bahwa kepala
perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi
Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi
kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.
BELAJAR DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Ia
sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski harus pergi
berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai orang-orang yang
berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah,
ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual sirup, yang merupakan wali
besar pada zamannya.
Lambat
laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat Hammad adalah
seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya sedemikian keras sufi yang
sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini menerima semua ini sebagai koreksi
bagi kecacatan ruhaninya.
LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia
kian keras terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan
kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an
suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh
tanpa berwudhu lagi, karena belum batal.
Diriwayatkan
pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Qur’an dalam satu malam. Selama
latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak
bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia
berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar,
dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri
dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur
yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.
DICOBA IBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal,
tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya ke puncak
bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan duniawi, dan
dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila ingin menjadi raja dari
kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau, sebagai pemimpin ruhaniah.
Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin
dalam hidupnya.
Demikian
pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh berdakwah
menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan musuh-musuh beliau, para
pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta dan tahta. Dan tak seorang
Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: “Aku sama sekali tak menginginkan
harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi
umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya,
maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian
menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku.”
Begitulah
gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan duniawi. Berkenaan
dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi
pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis menghadapnya, memperkenalkan diri
sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa Buraq dari Allah, yang
mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.
Sang
Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si Iblis, karena baik
Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi Suci Muhammad saw.
Setan toh masih punya cara lain, katanya: “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah
menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.” “Enyahlah!, bentak sang wali.”
Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku
selamat dari perangkapmu”.
Versi
kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba belantara, tanpa
makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan
turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok terang di
cakrawala dan berseru: “Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang
haram.” Sang Syaikh berucap: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan
yang terkutuk.” Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar
berkata: “Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku.”
Lalu
setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya. Sang Syaikh
menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang haramlah yang membuatnya
tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi pemimpin sejati manusia.
PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya.
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya.
Ketika
sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk membantunya
duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan tegap, dan secara
menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syaikh terperanjat, orang
asing itu menentramkannya dengan kata-kata: ” Akulah agama kakekmu, aku menjadi
sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku kembali melalui
bantuanmu.”
Ini
terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan menunjukkan karir
mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan, menamainya Muhyiddin,
‘pembangkit keimanan’, gelar yang kemudian dipandang sebagai bagian dari
namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia
tak jua berkhutbah di depan umum. Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di
sebuah sudut kota, dan meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian
mempercerah ruhaniyah.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Empat
putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Syaikh
Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga
sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia
mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh
puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua
wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan
oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan
dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah
Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan
diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.
Pengaruh dan Karya
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh.
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh.
Memang
ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya. Namun, yang
disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:
1. Al-Ghunyah
li Thalibi Thariq al-Haqq
merupakan karyanya yang mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali,
Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya
bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih,
akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah,
dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan
tertentu. Ia kemudian membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika
seorang pelajar, tawakal, dan akhlak yang baik.
2. Al-Fath
al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani
merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah
disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang
dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H.
Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya
mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam
berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang
muncul pada forum pengajian itu.
3. Futuh
al-Ghayb merupakan
kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak,
dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani.
Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya
129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang
dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
Kesaksian Ulama
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Setelah
ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata
Syekh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang
wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada
saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas
pundak para Wali.”
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Ketika
mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki
bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami
belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb
al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul
Mu’awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir
Jaylani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Suatu
ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor
ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin
menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan
bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap
tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.
Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang
tawakkal dan memiliki karamah.
Ibnu
Rajab juga berkata, “Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus
dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu makrifat yang
sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya
mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia
berpegang pada sunnah. “
Al-Dzahabi
juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan
karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan
banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil
terjadi.”
Wafat
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah.
Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah.
Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
“Bertakwalah
kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah.
Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu
butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah
hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada
tauhid.”
Demikian
manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah, manfa,at, dan Ridho allah swt,
syafa’at Rosululloh serta karomah Auliyaillah khushushon Syekh Abdul Qodir
Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga dan anak turun kita semua
Dunia – Akhirat. Amien
Diambil
dari berbagai sumber
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.
Abul
Hasan An-Nadawi, dalam kitabnya “Rijalul Fikri wal da’wah wal Islam”
(Tokoh-tokoh Intelektual Da’wah dan Islam) mengisahkan tentang Syeikh Abdul
Qadir Al-Jailanisebagai berikut :
“Majelis
beliau (Abdul Qadir) dihadiri oleh tujuh puluh ribu orang. Di tangannya lebih
dari lima ribu orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam, dan lebih dari seratus
orang yang sesat bertaubat. Beliau buka pintu bai’at dan taubat di bawah
bimbingannya. Maka masuklah ke dalam bimbingannya orang-orang yang jumlahnya
hanya diketahui oleh Allah, sehingga keadaan umat semakin membaik dan keislaman
mereka pun semakin mendalam.
Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani dan Thariqat Qadiriyah
Saat usia 8 tahun, beliau sudah me-ninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, yang saat itu Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Selanjutnya pada tahun 521 H/1127 M, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat hingga beliau dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, be-liau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh besar yang harum namanya dalam dunia Islam.
Saat usia 8 tahun, beliau sudah me-ninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, yang saat itu Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Selanjutnya pada tahun 521 H/1127 M, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat hingga beliau dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, be-liau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh besar yang harum namanya dalam dunia Islam.
Sejak
itulah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani disebut-sebut sebagai tokoh sufi yang
mendirikan Tariqhat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari
namanya. Tariqhat ini terus berkem-bang dan banyak diminati oleh kaum muslimin.
Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tariqhat ini, namun
pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman, Turki,
Mesir, India, hingga se-bagian Afrika dan Asia.
Perkembangan
Tariqhat ini semakin melesat, terlebih pada abad ke ke 15 M. Di India misalnya,
Tariqhat Qadiriyah berkembang luas setelah Muhammad Ghawsh (1517 M) memimpin
Tariqhat ini. Dia juga mengaku sebagai keturunan dari Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Di Turki ada Ismail Rumi (1041 H/1631 M) yang diberi gelar mursyid
kedua dari Tariqhat Qadiriyah. Adapun di Makkah, penyebaran Tariqhat Qodiriyah sudah
bermula sejak 1180 H/1669 M.
Berbeda
dengan beberapa Tariqhat lainnya, Tariqhat Qadiriyah dikenal sebagai Tariqhat
yang luwes. Dalam pan-dangan shufi, seseorang yang sudah mencapai derajat
mursyid (guru) tidak mesti harus mengikuti Tariqhat guru di atasnya lagi. Ia
memiliki hak untuk memperluas Tariqhat Qadiriyah dengan membuat Tariqhat baru,
asalkan sejalan dengan Tariqhat Qadiriyah.
Dari
sifat keluwesannya ini, Tariqhat Qadiriyah memiliki banyak anak cabang yang
masing-masing memiliki mursyid-nya. Sebut saja seperti Tariqhat Benawa yang
berkembang pada abad ke-19, Tariqhat Ghawtsiyah (1517), Thariqhat Junaidiyah
(1515 M), Thariqhat Kama-liyah (1584 M), Thariqhat Miyan Khei (1550 M), dan
Thariqhat Qumaishiyah (1584), yagn semuanya berkembang di India. Di Turki
terdapat Tariqhat Hin-diyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M),
Nabulsiyah, dan Waslatiyyah. Adapun di Yaman ada Tariqhat Ahda-liyah, Asadiyah,
Mushariyyah, ‘Urabiy-yah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah.
Sedangkan di Afrika terdapat Tariqhat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’aliyya,
Manzaliyah dan Tariqhat Jilala. Thariqat Jilala ini adalah sebuah nama lain
yang dialamatkan oleh masyarakat Maroko kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Adapun
di Indonesia, Thariqat Qa-diriyah berkembang pesat yang berasal dari kawasan
Makkah, Arab Saudi. Thariqat Qadiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16,
khususnya di seluruh Pulau Jawa. Ada beberapa pesantren yang menjadi pusat
pergerakan Thariqat Qadiriyah ini. Sebut saja seperti Pesan-tren Suryalaya Tasikmalaya
(Jawa Ba-rat), Pesantren Mranggen (Jawa Tengah), dan Pesantren Tebuireng
Jombang (Ja-wa Timur).
Sebagai
informasi tambahan, orga-nisasi agama di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan
dari Thariqat Qadiriyah adalah Nahdhatul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya
pada tahun 1926. Ada juga organisasi lain seperti al-Washliyah dan Thariqat
Qadiriyah Naqsa-bandiyah yang merupakan organisasi resmi di Indonesia.
Karya-karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Berikut adalah beberapa kitab yang menjadi karya tulis beliau:
Berikut adalah beberapa kitab yang menjadi karya tulis beliau:
1. Al-Ghunyah li Thalib Thariiq
al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al-Adab al-Islamiyah
2. Futuh al-Ghaib
3. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faidl
al-Rahmani
Demikianlah,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang hidup dengan penuh pengabdiannya kepada
Islam. Beliau wafat pada malam Sabtu ba’da maghrib di daerah Babul Azajwafat,
Baghdad, pada tanggal 8 Rabiul Akhir 561 H / 1166 M. Jenazahnya dimakamkan di
madrasahnya sendiri setelah disaksikan oleh ribuan jama’ah yang tak terhitung
jumlahnya.
Keramat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Keramat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Pada
tulisan kali ini, kita akan sedikit menyimak beberapa kisah yang dialamatkan
(ditujukan) kepada Syaikh Ab-dul Qadir al-Jailani. Kisah-kisah tersebut banyak
tertulis di beberapa kitab dan cukup dikenal luas oleh kalangan kaum muslimin.
Namun dalam hal ini, kita perlu tahu bahwa banyak dari kisah-kisah tersebut
yang fiktif (tidak nyata kebenarannya).
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Kisah-Kisah Ajaibnya
Diceritakan oleh Muhammad bin al-Khidir bin al-Husaini bahwa ayahnya berkata,” Jika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan pelajaran berbagai disiplin ilmu di majlisnya, maka perkataannya tak pernah terputus. Tidak ada seorangpun yang berani meludah, mendengus, berdehem, berbicara, maupun maju ke tengah majlis karena kharisma beliau.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Kisah-Kisah Ajaibnya
Diceritakan oleh Muhammad bin al-Khidir bin al-Husaini bahwa ayahnya berkata,” Jika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan pelajaran berbagai disiplin ilmu di majlisnya, maka perkataannya tak pernah terputus. Tidak ada seorangpun yang berani meludah, mendengus, berdehem, berbicara, maupun maju ke tengah majlis karena kharisma beliau.
Keagungannya
membuat orang-orang yang hadir ikut berdiri jika beliau datang ke dalam
majlisnya. Karismanya membuat semua orang hening ketika beliau memerintahkan
mereka untuk diam sampai yang terdengar hanya hembusan nafas mereka. Tangan
orang-orang yang hadir dalam majlisnya sampai bersentuhan dengan kaki orang
lain. Beliau mengenali mereka satu persatu hanya dengan memegang tanpa harus
melihat wajahnya.
Orang yang jauh sekalipun bisa men-dengar ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Bahkan beliau bisa menebak isi hati seseorang dan memberi nasihat berdasarkan ucapan batin dalam diri-nya.
Orang yang jauh sekalipun bisa men-dengar ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Bahkan beliau bisa menebak isi hati seseorang dan memberi nasihat berdasarkan ucapan batin dalam diri-nya.
Diriwayatkan
pula bahwa arwah pa-ra nabi berpusar mengelilingi majlis Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani baik di langit maupun di bumi bak angin yang berpusar di ufuk. Juga
malaikat meng-hadiri majlisnya berkelompok demi kelompok.
Syaikh Abu Madyan bin Syuaib ber-kata, “Ketika aku bertemu dengan Al-Khidr, aku bertanya tentang para syaikh (wali Allah) dari barat sampai timur saat ini. Ketika aku bertanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dia (al-Khidir) berkata, “Beliau adalah imam golongan as-Shidq, hujjah bagi kaum ‘arif. Dia adalah roh dalam ma’rifah dan posi-sinya dibandingkan dengan para wali lainya adalah al-Qurbah (kedekatan).”
Syaikh Abu Madyan bin Syuaib ber-kata, “Ketika aku bertemu dengan Al-Khidr, aku bertanya tentang para syaikh (wali Allah) dari barat sampai timur saat ini. Ketika aku bertanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dia (al-Khidir) berkata, “Beliau adalah imam golongan as-Shidq, hujjah bagi kaum ‘arif. Dia adalah roh dalam ma’rifah dan posi-sinya dibandingkan dengan para wali lainya adalah al-Qurbah (kedekatan).”
Dari
Syaikh Muhammad bin Harawi, ia berkata, “Suatu hari ketika Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berbicara di ma-jlisnya, beliau terdiam beberapa saat kemudian
berkata,” Jika aku meng-inginkan Allah swt mengirimkan burung hijau yang akan
mendengarkan perka-taanku maka Ia akan mengabulkannya’. Sekejap kemudian majlis
tersebut dipe-nuhi oleh burung berwarna hijau yang dapat dilihat oleh semua
yang hadir’”.
Masih
soal burung, suatu saat ada seekor burung yang melintas di atas majlis Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Kemudian beliau berkata, “Demi Allah yang disembah,
jika aku mengatakan ‘matilah terpotong-potong’ kepada burung itu maka hal itu
pasti terjadi”. Se-telah beliau selesai mengucapkannya, burung tersebut jatuh
dalam keadaan mati terpotong-potong”.
Syaikh
Baqa bin Bathu An-Nahri al-Makki berkata,“Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berbicara di tangga per-tama kursinya, tiba-tiba perkataan beliau terputus dan
beliau tidak sadarkan diri beberapa saat. Setelah sadar beliau langsung turun
dari kursi dan kemudian kembali menaiki kursi tersebut dan duduk di tangga
kedua. Dan aku menyak-sikan tangga pertama tersebut mema-njang sepanjang
penglihatan dan di-lapisi sutera hijau. Telah duduklah di sana Rasulullah saw,
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Saat itu Allah swt ber-tajalli (merupakan
istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam
bentuk alam yang bersifat terbatas) sehingga membuat beliau miring dan hampir
jatuh jika tidak dipegang oleh Rasulullah saw. Kemudian beliau tampak semakin
menge-cil hingga sebesar burung, kemudian menjadi sangat besar dan kemudian
semakin menjauh dariku”.
Ketika
syaikh Baqa’ ditanya tentang penglihatannya kepada Rasulullah saw dan para
sahabatnya, beliau berkata, “Semua itu adalah arwah mereka yang membentuk.
Hanya mereka yang dia-nugerahi kekuatan saja yang dapat me-lihat mereka dalam
bentuk jasad dan segala sifat fisik.”
Sedangkan
saat beliau ditanya ten-tang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang mengecil dan
membesar, Syaikh Baqa’ berkata, “Tajalli pertama tidak bisa ditahan oleh orang
biasa kecuali dengan pertolongan Nabi. Oleh karena itu Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani nyaris terjatuh. Sedangkan Tajalli kedua didasarkan pada sifat
ke-Agungan yang berasal dari Yang Disifati, oleh karena itu beliau mengecil.
Sedangkan tajalli ketiga di-dasari pada sifat ke-Maha Indahan Allah, oleh
karena itu beliau membesar. Semua itu adalah anugerah Allah kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan sesungguhnya Allah memiliki anugerah yang a-gung”.
Syaikh
Harawi berkata, “Aku mela-yani Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selama 40 tahun,
selama itu beliau se-lalu melaksanakan shalat subuh dengan wudhu shalat isya’.
Jika beliau berha-dats, beliau segera memperbaharui wudhunya. Dan setelah
shalat isya’ beliau masuk seorang diri ke dalam ruang khalwatnya dan tidak
keluar hingga fajar.
Syaikh
Ahmad Rifa’i berwasiat ke-pada keponakan-keponakannya, “Jika kalian tiba di
Baghdad, dahulukan me-ngunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani jika beliau masih
hidup. Atau menziarahi kuburnya apabila beliau sudah meninggal. Karena beliau
telah mengambil janji Allah bahwa semua pemilik kondisi spiritual yang tidak
menomor satukan beliau akan dicabut kondisi spiritual yang di-milikinya. Syaikh
Abdul Qadir benar-benar merupakan kerugian begi mereka yang tidak melihatnya.”
Syaikh
Umar al-Bazaar berkata, “Su-atu hari aku duduk di hadapan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani dalam khalwatnya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jaga punggungmu karena
akan ada kucing yang jatuh di punggungmu’. Dalam hati aku berkata, ‘ Dari mana
datangnya kucing? Tidak ada lubang di atas dan…..’ Se-belum selesai bicara,
tiba-tiba seekor kucing jatuh ke punggungku. Kemudian beliau memukulkan
tangannya ke dadaku dan aku mendapati cahaya terbit dari dalam dadaku bak
mentari. Dan aku menemukan al-Haq pada saat itu.
Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani ber-kata, “Ibadah haji pertamaku aku lakukan pada saat
aku masih muda dan sedang melaksanakan Tajrid (pelepasan). Saat aku tiba di
daerah Umm al-Qurn aku bertemu Syaikh Uday bin Musafir yang juga masih muda.
‘Mau kemada engkau?’ Tanya Syaikh Uday kepadaku. ‘Makkah Al-Musyarafah’,
jawabku. ‘Apa engkau bersama seseorang?’ tanya Syaikh Uday kembali. ‘Aku sedang
melaksanakan tajrid,’ jawabku.
Kemudian
kami berdua melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan kami berjumpa seorang
wanita kurus dari Habsyi (Ethiopia). Dia berhenti di depanku dan memandangi
wajahku lalu kemudian berkata, ‘Anak muda, dari manakah engkau?’ Aku menjawab,
‘O-rang Ajam (non-Arab) yang tinggal di Baghdad’. ‘Engkau telah membuatku lelah
hari ini,’ sahutnya. ‘Kenapa?’ tanyaku. Kemudian wanita itu pun menjelaskan
alasannya, ‘Satu jam yang lalu aku berada di Habsyi kemudian Allah menunjukkan
hatimu kepadaku sekaligus anugerah-Nya kepadamu yang belum pernah aku saksikan
diberikan-Nya kepada selain dirimu. Hal itu menyebabkan aku ingin mengenal
dirimu. Hari ini aku ingin berjalan bersama kalian melewatkan malam bersama
kalian’.
Lantas
akupun berkata, ‘Itu merupakan kehormatan buat kami’. Setelah itu dia mengikuti
kami berjalan di sisi lain wadi (aliran sungai gurun) tersebut. Ketika tiba
waktu maghrib dan saat makan malam tiba, sebuah nampan turun dari langit yang
berisi 6 potong roti beserta lauk pauknya. ‘Subhanallah segala puji dan syukur
bagi Allah yang telah memuliakan aku dan tamuku’, ungkap perempuan tersebut.
Malam
itu, setiap dari kami memakan dua potong roti. Selesai makan, datanglah tempat
air dan kami meminum air yang kesegaran dan rasanya tidak ada di dunia ini.
Setelah itu, perempuan itupun pergi meninggalkan kami.
Kisah selanjutnya adalah, ada seorang kafilah yang kehilangan 4 untanya di hutan. Kemudian ia teringat akan pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bahwa jika dirinya mendapat kesulitan, maka diperintahkan untuk menyebut nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Kemudian kafilah itu menyebut nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tiba-tiba, ada seorang berjubah putih di atas bukit dengan melambaikan tangan. Kafilah tersebut menuju sosok yang dimak-sud. Namun setelah sampai di atas bu-kit, sosok tersebut hilang dan malah ia menemukan ke 4 unta yang sedang dicarinya.
Kisah selanjutnya adalah, ada seorang kafilah yang kehilangan 4 untanya di hutan. Kemudian ia teringat akan pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bahwa jika dirinya mendapat kesulitan, maka diperintahkan untuk menyebut nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Kemudian kafilah itu menyebut nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tiba-tiba, ada seorang berjubah putih di atas bukit dengan melambaikan tangan. Kafilah tersebut menuju sosok yang dimak-sud. Namun setelah sampai di atas bu-kit, sosok tersebut hilang dan malah ia menemukan ke 4 unta yang sedang dicarinya.
Demikianlah,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani beserta kisah-kisah hidup, ilmu, dan karamah yang
ditujukan kepadanya.